Ilustrasi gadis cina(foto:english.sina.com) |
Kisah cerita di bawah ini judul aslinya : Kisah Cinta Sejati Wanita Mualaf, kisah cerita ini
cukup panjang dan mengharu biru dan bila Anda ingin membaca kisah ini
secara serius tolong sediakan tisu. Pesan buat Anda : jangan pernah
malas untuk membaca karena dengan membaca kamu akan terhindar dari
segala macam kebodohan, kesombongan, fitnah, mencampuri urusan orang
lain dan sebagainya. Insyah Allah kedepannya Anda akan menjadi orang
bijaksana.
Sebelum
mulai, izinkan aku mohon maaf bila ada pihak tak berkenan terutama
keluargaku. Untuk itu nama dan tempat disamarkan. Aku ucapkan
terimakasih untuk Retno (samaran) mahasiswi Universitas T yang telah
sudi menulis. Semoga
menginspirasi pembaca atau menguatkan orang yang mengalami seperti
aku. Allah limpahkan rahmat dan Hidayah-NYa pada kita, amiin!.
Profile
Panggil
aku Mawar usia 30-an lahir di kota P, pulau di seberang pulau Jawa
sebagai bungsu dari 4 bersaudara. Kami keluarga Cina generasi ke-4
imigran ke Indonesia. Kakek buyut pendatang dari negeri jauh di utara
pada awal abad 20.
Menurut cerita,
kakek buyut berjualan kebutuhan pokok gula, garam beras dll,
keluar-masuk kampong dengan pikulan. Bisnis keluarga berkembang pesat
setelah pemerintah menggalakkan usaha yang dilakukan bangsa sendiri
(pribumi).
Saat itu ada istilah
Ali-Baba. Ali panggilan pribumi dan Baba / pebisnis Cina. Pengusaha
pribumi diberi kemudahan izin usaha bahkan izin impor, tapi umumnya
kesulitan modal. Sementara banyak etnis Cina modalnya kuat membeli izin
usaha dari pribumi, sehingga memudahkan bisnis expor-impor ke Singapura,
Malaysia dan Hongkong yang dikuasai etnis kami.
Bisnis
keluarga makin besar, merambah semua bidang; pertambangan, emas,
perkebunan dan lainnya. Kekayaan keluarga kami diatas rata-rata orang
kaya Indonesia, above than ordinary rich.
Harta
keluarga amat melimpah hingga orangtua cemas seandainya kami
sekeluarga (tiba-tiba) mati dan tidak ada yang mengurus harta kami.
Untuk itu kami sekeluarga tidak pernah melakukan perjalanan pesawat
bersama-sama. Bila liburan bersama, biasanya kami dibagi 2-3 flight.
Papa-mama satu pesawat sisanya dibagi 2 flight. Sehingga bila terjadi
musibah, ada anggota keluarga yang tetap melanjutkan bisnis.
Aku bercerita tentang keluarga sebab sangat terkait dengan kisah selanjutnya.
Papa
lahir dan dibesarkan di kota P. Setelah lulus SMA studi bisnis di
negeri H (Hongkong). Begitu kembali papa menjadi businessman handal,
banyak relasinya di berbagai negara. Papa rendah-hati, pendiam, bicara
terukur dan seperlunya serta jarang marah. Mama dari pulau lain yang
menjadi karyawati perusahaan kakek sebelum bertemu papa. Mama orangnya
keras, pintar, lincah, banyak pergaulan hingga kadang kami fikir, papa
sepertinya takluk pada mama.
Banyak kebijakan perusahaan berasal dari ide mama dan selalu sukses. Keduanya memang pasangan serasi dan saling mengisi.
Mengenal Islam
Masa
kecilku penuh kebahagiaan. Dari SD hingga SMA aku sekolah swasta
terkemuka, siswanya banyak anak bupati, gubernur atau pejabat. Aku pun
berbaur tanpa memandang golongan, agama dan ras. Kadang aku diundang ke
rumah mereka (anak bupati/gubernur) sehingga kenal dekat keluarganya dan
kelak bermanfaat buat perusahaan kami.
Di
sekolahku ada pelajaran agama untuk setiap pemeluknya. Jika ada
pelajaran agama tertentu, penganut agama lain diizinkan keluar, tetapi
boleh juga tinggal. Misalnya ada pelajaran Islam, aku lebih suka tinggal
di kelas mendengarkan apa yang diajarkan.
Aku
non-Muslim, setiap minggu ke tempat ibadah kami, tetapi aku lebih
tertarik dengan Islam. Ada semacam panggilan dari hati paling dalam,
Awalnya kupikir hanya perasaan ingin-tahu. Tapi setiap mendengar adzan,
hati aku selalu bergetar.
Rumah kami
sangat besar. Sering aku sendirian, orangtua sibuk di Jakarta dan hanya
beberapa hari di rumah dalam sebulan. Kakak-kakakku masih kuliah di LN,
sehingga rumah dengan 6 kamar besar, hanya dihuni aku sendiri. Pembantu,
sopir dan satpam tinggal di pavilion terpisah dengan rumah induk. Di
kesunyian hati, aku merasa sejuk setiap mendengar ayat Quran yang kadang
tidak sengaja aku dengarkan di TV.
Aku
makin tertarik dengan pelajaran Islam. Melihat ibu guru mengenakan
kerudung dan wajah bersih bersinar membuat hati merasa sejuk. Dengan
melihat wajah ibu guru saja, aku merasakan damai. Tanpa sadar akupun
mencatat apa yang diajarkan, aku hapal ayat-ayat pendek. Semua terjadi
begitu saja dan tak bisa dicegah. Pernah ibu guru menghampiri aku yang
secara refleks sedang mencatat pelajaran tentang HAJI di papan tulis.
Beliau
tahu aku non-muslim. Begitu mendekati tempat duduk aku. Jantung
berdebar keras membayangkan diusir dari kelas. Ternyata hanya tersenyum
ramah melihat catatanku. "Insya Allah kelak Mawar bersama ibu
melaksanakan ibadah Haji ya…."
Hubunganku
dengan Ibu Aisyah (samaran) makin akrab, aku tidak sabar menanti hari
pelajarannya. Hubungan itu bagai anak dan ibu. Meski aku juga tetap
mengikuti pelajaran agamaku, tapi lebih banyak melamun bahkan tidak
mencatat sama sekali.
Sebagai gadis
remaja tinggi 160 cm sedang mekar dan giat cari pacar. Banyak komentar
teman; tubuhku indah, proporsional, wajah oriental dan akan banyak
menarik perhatian laki. Tapi saat itu aku tak tertarik dengan pria
seetnis. Sebaliknya setiap Jumat aku suka melihat siswa muslim ibadah
shalat Jumat, hati langsung bergetar membayangkan andai salah satunya
mau jadi pacarku. Dengan wajah bersih bersinar, basah tetesan air wudhu,
melangkah ke masjid di seberang sekolah Ah...! Indahnya membayangkan
wajah-wajah tersebut.
Aku tahu diri,
mana ada pribumi yang mau menjadi pacarku. Banyak yang masih membedakan
ras. Pacaran dengan cina dianggap memalukan dan menjadi cemohan.
Aku
pernah berpacaran dengan anak bupati. Dia memutuskan hubungan hanya
karena ayahnya calon Gubernur yang tidak mau anggota keluarga bisa
menghambat pencalonan, seperti anaknya berpacaran dengan cina. Alasannya
sangat mengada-ada tapi aku sadar; orangtuanya tentu tidak rela anaknya
berhubungan terlalu jauh denganku yang juga beda agama.
Tapi
hatiku sudah bulat kelak punya suami pribumi bahkan bersedia masuk
Islam. Keputusan ini kelak membawa hidupku melewati perjalanan penuh
ujian dan cobaan.
Studi ke Australia dan Amerika
Lulus
SMA aku study ke Aussie (Australia) dan Amerika mengikuti 2 kakakku.
Tak banyak yang perlu diceritakan. Hampir 5 tahun kemudian aku kembali
dengan gelar Master dan mengabdi untuk bisnis keluarga. Dalam waktu
singkat profit perusahaan meningkat pesat, terus membesar - merambah
banyak sektor bisnis. Aku punya akses ke para elite daerah, karena
semasa sekolah aku sudah mengenal keluarganya. Semua urusan perizinan
aku selesaikan dengan mudah.
Aku
masih single di pertengahan usia 20-an. Banyak pria berusaha
mendekatiku, dari pengusaha muda sukses hingga pemilik perusahaan
besar. Namun hatiku tidak bergetar sama sekali. Mencari suami itu
mudah tapi aku ingin mencari soulmate.
Romantisme dalam Islam
Suatu
hari kantor mendapat staf baru dari kantor cabang di Jawa, 3 tahun
lebih tua dariku, wajah bersih dan etnis Jawa. Tutur-kata lembut, sopan,
tinggi proporsional dan ahhh...! Ini dia. Dia muslim taat. Wanita
sekantor tidak habisnya membicarakan dan berlomba mendapatkan
perhatiannya. Menurut laporan - dia amat rajin, jujur, berprestasi
hingga dipromosikan ke posisi lebih tinggi dan satu divisi denganku.
Awalnya
aku jaga image sebagai anak Big Boss. Lama-lama hati enggak bisa
bohong,..sedikit demi sedikit namun pasti...aku jatuh cinta. Suatu saat
kami semobil dari kantor gubernur. Tiba-tiba dia meminta izin shalat
Ashar di Masjid Raya. Dari dalam mobil, kucermati ia berwudhu,
melangkah ke masjid, shalat...Ahhh!. Andai saja aku kelak bisa mengikuti
di belakangnya.
Awalnya kami
memanggil secara formal 'Pak' dan 'Ibu'. Tapi lama-lama secara tak
sengaja aku memanggil "Mas" karena aku sering melihat orang Jawa
memanggil yang lebih tua, suami atau kakak dengan sebutan "Mas". Dia
rikuh, tetapi lama-kelamaan terbiasa. Tapi itu aku lakukan bila hanya
berdua, tidak di kantor. Aku meminta dipanggil 'Dik' bukan 'Ibu Mawar.'
Seperti
pepatah Jawa, "Witing tresno jalaran kulino" terjemahan bebas "Cinta
tumbuh karena terbiasa selalu bersama." Bayangkan bagaimana awal cinta
kami!!!
Kami duduk di belakang sopir
mobilku. Awalnya membahas berkas kerja, kadang tidak sengaja tangan
kami bersentuhan. Dia secara sopan segera menarik tangannya dan minta
maaf. Ahh!...sebal rasanya. Padahal aku yang menginginkan. Tapi itu
tidak berlangsung lama, Akhirnya dia takluk. Aku biarkan tangannya
memegang berkas lalu aku pura-pura membahas sambil tanganku menyentuh
jari dan tangannya. Aku tidak pandai pura-pura. Dengan berani kugenggam
jemarinya, lama-lama dia (sebut saja Mas Fariz) merespon, menggenggam
tanganku...ahh!...!
Sering aku
pura-pura minta supir kembali dari suatu tempat, seolah ada yang
tertinggal ... padahal hanya ingin berlama-lama dengan dia.
Suatu
saat aku pura-pura ketinggalan sesuatu, meminta sopir ke rumah. Begitu
memasuki rumah orangtuaku, wajah Mas Fariz pucat. Dia gugup karena
khawatir papa (Big Boss) marah jika mengetahui pada jam kerja mampir ke
rumahnya. Aku bilang tidak perlu takut, bukankah anak Big Boss yang
membawanya.
Setahun berlalu. Hubungan
kami semakin erat tapi dia belum menyatakan cinta. Mungkin takut
ditolak apalagi beda agama. Hingga suatu saat dia menelpon mengajak
bertemu di restoran luar kota. Dia meminta datang sendirian tanpa
sopir.
Di restoran itu dia menyatakan
cinta...langsung saja kuterima. Kukatakan aku bersedia memeluk Islam
dan sejak lama ingin masuk Islam, jadi mas Fariz semoga menjadi
pembimbingku. Airmatanya meleleh. Seumur hidup baru kali ini seorang
pria berlinangan airmata karena aku. Aku tidak kuasa menahan airmata dan
yakin mendapatkan 'Soulmate.'
Di
kantor kami bekerja seperti biasa. Tapi di luar kantor kami sepasang
kekasih. Dia mengajari shalat dan sedikit doa. Dia memang lelaki taat,
menjaga kesopanan dan tidak pernah melewati batas. Sehingga kadang aku
yang menggoda, namun dia selalu bilang, sabar!...tunggu waktunya.
Seribu kali sayang, serapat apapun ditutupi, sedikit demi sedikit bocor
juga rahasia kami hingga papa tahu ................
Tantangan Keluarga
Suatu
hari tiba-tiba papa datang ke ruangan aku, padahal amat sangat jarang
terjadi, jika ada keperluan biasanya aku dipanggil. Mulanya papa tidak
menanyakan hubungan aku dengan mas Fariz, tetapi sedikit demi sedikit
topiknya mengarah kesana. Akhirnya papa menanyakan kebenaran hubungan
itu. Aku tidak sanggup menjawab, wajah aku tertunduk. Papa menatap dan
menunggu jawaban aku.
Aku tidak
sanggup berbohong atau menyangkal, sebaliknya jika bilang "iya" aku
khawatirkan karir Mas Fariz. Aku hanya bisa menangis ... Esoknya, Mas
Fariz tidak hadir, dia dipindahkan ke Jawa. Akupun kehilangan kontak.
Seminggu
kemudian mas Fariz bercerita di telpon bahwa setelah papa menemuiku,
dia langsung menemuinya. Esok paginya dia harus kembali ke kantor lama.
Keadaan semakin parah, setiap karyawan di kantornya sudah tahu hubungan
kami. Banyak tuduhan kalau mas Fariz mengincar harta dan kedudukan
dengan memacariku. Berulangkali dia sebut nama Allah, bersumpah,
cintanya kepadaku bukan karena itu.
2
minggu kemudian dia resign, tetapi kami masih berhubungan telpon. Dia
mencari pekerjaan di perusahaan yang punya cabang di kota P agar bisa
menemui aku. 3 bulan kemudian dia mendapatkannya dengan gaji jauh
lebih kecil. Aku amat terharu, dia korbankan karirnya demi aku.
Kami pun bebas berhubungan tidak peduli perkataan orang di kantor, tapi papa kembali mengetahui dan kali ini mama turun tangan.
Mereka
tidak bedakan ras dan tidak keberatan bergaul dengan siapapun, tapi
tidak bisa diterima jika aku masuk Islam dan mereka sudah curiga. Maka
kujelaskan, aku sudah dewasa untuk mengambil keputusan hidup tanpa
tergantung papa-mama - jawaban yang membuat mereka murka.
Mereka
berkata, banyak orang rela mati demi merasakan rumah mewah, sopir
tersedia tiap saat, mobil mewah, uang melimpah dan dihormati. Mereka
katakan, tanpa mereka aku tidak akan pernah bisa memperoleh kehidupan
seperti ini. Aku hanya menangis. Tapi hatiku bertekad apapun yang
terjadi aku tidak akan meninggalkan Mas Fariz.
Aku
giat mendalami Islam. Saat istirahat kantor, aku pergi ke tokobuku
besar di Mal untuk membaca buku Islam. Pernah aku mengajak rekan kantor
ke tokobuku. Aku langsung ke rak buku Islam, dia ingatkan kalau aku ada
di bagian rak buku Islam. Aku bilang memang benar, aku mau membaca
tentang Islam.
Klimaks
Kedua
kakak laki-laki aku menikah dan menetap di Jakarta menjalankan bisnis
kami dan papa-mama sekarang lebih banyak tinggal di kota kami bersama
kakak perempuanku dan aku. Tapi hubungan aku dengan papa-mama semakin
renggang, kakakku pun sudah terprovokasi dan menjauh.
Aku
dianggap bukan bagian keluarga dan tak diajak makan bersama di meja
makan. Pembantu disuruh memanggilku untuk makan bila mereka selesai
makan. Makanan yang ada adalah sisaan mereka dan pembantu tidak
diperbolehkan menambah. Akhirnya aku makan makanan sisa.
Jika
mereka makan ayam, aku makan ceker dan kepala saja. Bayangkan rasanya
sakit hati. Aku bersabar dan mas Fariz selalu mengingatkan untuk
berbakti pada orangtua. Bisa saja aku akan di restoran termahal di kota
P.
Kakak perempuanku sebenarnya
kasihan padaku, sehingga kadang dia menyimpan sebagian makanan yang baru
dimasak. Sehingga pada saat mama-papa selesai makan, diam-diam
dihidangkan untuk aku. Secara tidak terduga, mereka kembali ke
meja-makan dan memergoki. Langsung mama rebut piringnya dan melemparkan
ke lantai. Sambil menyindir tidak perlu kasihan sebab aku sanggup hidup
tanpa diberi makan mama-papa.
Ohh..!
Mereka rupanya sudah amat membenci. Hancur berkeping hati aku. Aku hanya
menangis tetapi tidak menyesalI dan aku akan tetap bertahan.
Mas
Fariz menyarankan bicara baik-baik agar papa-mama luluh. Suatu malam
ada kesempatan mendatangi mereka dan berbicara. Dengan tutur baik aku
meminta maaf. Aku tumpahkan perasaan semuanya. Tapi justru itu membuat
mereka bertambah murka. Mereka tuduh aku kena sihir dan menyarankan aku
sadar.
Ya Allah! Aku sehat, Insya
Allah tidak ada satupun sihir. Semua keinginan murni dari panggilan jiwa
yang tidak bisa aku cegah. Aku jelaskan lagi, bahwa aku sudah dewasa
hingga apapun keputusan bisa kupertanggung-jawabkan. Aku bisa mandiri
jika dikehendaki. Pendirian mereka pun tetap bahkan menantang, jika
sanggup hidup mandiri, sekarang juga serahkan seluruh harta yang aku
dapatkan selama hidup dengan mereka.
Karena
tekad bulat, malam itu seluruh kartu credit, ATM, buku bank aku
serahkan. Uang yang aku punya hanya yang tinggal di dompet. Sepertinya
tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan rumah. Esok paginya aku ada
keperluan untuk membuka lemari besi tempat penyimpanan surat berharga
keluarga. Berulangkali mencoba, aku tidak bisa membukanya.
Ternyata
nomor kombinasinya diubah. Padahal ada barang pribadi aku: Ijasah,
perhiasan dan lain. Aku telpon papa tapi jawabannya sinis. Papa
menyindir kalau sanggup hidup mandiri, mengapa mau membuka lemari besi
keluarga, pasti ada barang yang mau dijual. Aku dikucilkan. Mereka
menyiksa dengan caranya sehingga aku menyerah. Aku mengadu ke mas Fariz
dan mengatakan akan minggat. Dia diam, lalu berpesan jangan sampai
putus hubungan keluarga.
Beberapa
hari kemudian aku tinggalkan rumah dan kos di dekat kantor. Aku
berpamitan baik-baik pada mama-papa. Tetapi mereka menoleh pun tidak.
Aku masih ada cukup uang di dompet. Aku bersumpah tidak akan meminta
uang mereka.
Aku bertekad hidup
mandiri. Selama bekerja di perusahaan papa, secara formal aku digaji
sesuai dengan posisiku. Tapi disamping itu setiap bulan, aku mendapat
uang-saku dari papa hampir 20x lipat gaji resmi. Sehingga penghasilan
sebulan cukup untuk hidup mewah selama setahun. Seluruh simpanan bank,
mencapai 10 digit. Mungkin cukup biaya seumur hidup.
Sekarang
aku tetap bekerja dengan harapan masih digaji. Tapi akhir bulan aku
tidak mendapat sepeserpun. Saat kutanyakan ke pembayaran gaji, ada
perintah menahan gajiku. Ya Allah, mereka lakukan cara apapun agar
menyerah. Saat itu juga kutinggalkan perusahaan papa selamanya.
Start from Zero
Saat
kuadukan ke mas Fariz dia teramat sedih dan meminta maaf, karena dia
hidupku menderita. Dia rela andai aku tak kuat untuk mundur. Aku peluk
dia dan kupastikan keputusanku tidak berubah. Akupun semakin ingin hidup
bersamanya. Saat itu hanya dia sandaranku. Dengan berurai airmata, dia
tanya lagi, apakah rela menjadi muslimah dan menjadi istrinya. Kuciumi
tangannya kukatakan kukorbankan kehidupanku hanya untuk bisa hidup
bersamanya dan tidak akan menyesali.
Singkat
cerita, dengan diantar mas Fariz aku mengucapkan kalimat syahadat di
sebuah masjid disaksikan imam dan beberapa jemaah masjid. Dia mengajak
segera menikah di kota kelahirannya. Kebetulan tugasnya dipindahkan ke
pulau Jawa.
Sebelum menikah kami
datangi rumah papa-mama. Tapi satpam di pintu gerbang mengatakan kalau
dia diperintahkan tidak boleh membuka pintu bila kami datang. Sebenarnya
ia mau membuka pintu. Tapi aku larang, khawatir mencelakai pekerjaan
Biarlah aku saja yang menderita. Aku tinggalkan secarik surat yang
isinya mohon doa restu bahwa aku akan menikah dengan Mas Fariz. Aku
beritahukan ke pak satpam aku sudah muslimah. Matanya berkaca-kaca saat
kukatakan aku mualaf.
Keluarga mas
Fariz menanyakan ketidakhadiran keluargaku di pernikahan kami. Tapi
setelah mas Fariz bercerita, mereka memahami. Kami menikah secara
sederhana. Keluarganya amat sangat menerimaku dengan hangat tanpa
mempermasalahkan keturunan Cina. Ibu mertuaku amat sayang kepadaku. Aku
amat sangat bahagia menjadi istrinya.
Aku
hidup di rumah sederhana, kulalui dengan penuh kebahagiaan dan aku
tidak mengeluh sedikitpun dengan yang mas Fariz berikan. Aku tidak lagi
bekerja, karena aku ingin mengabdi pada suamiku. Disamping itu semua
ijasah masih tersimpan di lemari besi, aku tidak bisa melamar pekerjaan.
Aku pun ingin membuktikan bisa mandiri dengan suamiku.
Mas
Fariz amat sangat menyayangiku tiap pagi sebelum berangkat kantor dia
memelukku. Tiap hari kubawakan 'lunch box' makan siang karena aku tidak
mau dia makan makanan masakan orang lain. Aku sangat posesif, ingin
memiliki dan melayani secara total. Tiap hari aku bangun sebelum dia
bangun dan tidur setelah dia benar-benar tidur untuk memastikan dia
sudah benar-benar tidak perlu aku layani lagi. Aku siapkan celana, baju,
kaus kakinya tiap pagi sebelum berangkat kerja. Sehingga dia tidak
perlu memikirkan pakaian apa yang harus dia pakai. Bahkan aku potong
kukunya bila sudah panjang. Dia kujadikan pangeran bagi diriku.
Tiap
malam sebelum tidur, kami ngobrol dan saling mengajarkan bahasa. Dia
mengajari bahasa jawa, sedangkan aku mengajari bahasa mandarin. Dia amat
cepat belajar mandarin dalam waktu singkat dia menguasai kata-kata yang
umum diucapkan, kadang mengajakku bicara mandarin di rumah. Memang
perusahaan tempatnya bekerja milik etnis Cina dan banyak berhubungan
dengan keturunan Cina, sehingga bila berbahasa mandarin akan memberi
keuntungan tambahan.
Suatu saat dia
pulang membawa motor, kantornya memberi pinjaman cicilan motor. Memang
hanya motor, tapi aku bahagia sekali dengan yang dia dapatkan.
Berulangkali dia minta-maaf tak bisa membeli mobil seperti yang pernah
kumiliki. Aku katakan motor yang kita miliki jauh lebih mewah dari
mobilku dulu. Karena motor ini bukan sekedar dibeli dengan uang, tapi
juga dengan cinta.
Kehidupan
perkawinan kami teramat indah, kalau di rumah nyaris kami tidak bisa
berjauhan. Tiap hari bagi kami adalah bulan madu. Setahun kemudian lahir
anak kami. Bayi itu sebut saja 'Faisal'. Mas Fariz yang membacakan Azan
dan iqomat sesaat setelah lahir. Aku merasa lengkap kebahagiaanku.
Setiap hari bertambah bahagia bisa merasakan 2 orang "Fariz" dalam
rumahku. Saat mas Fariz ke kantor, aku di temani Fariz kecil. Aku
mencintai 2 orang yang sama darah dagingnya.
3
tahun anak kami hadir. Mas Fariz bercita-cita mendatangi orangtuaku,
oma-opanya Faisal. Dia ingin perkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku
dengan papa-mama. Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan
hati orangtuaku. Tapi tiap menelpon, papa-mama bersikap seperti dulu.
Bahkan waktu kukatakan bahwa mereka punya cucu dariku, mereka menjawab,
kalau mereka tak merasa punya keturunan dariku…Ohh! malangnya anakku.
Aku teramat sedih, teganya papa-mama. Aku maklumi masih membenciku, tapi
jangan pada anakku, cucu mereka.
Tidak Putus Dirundung Malang
Dia yakin papa-mama akan menerima kami. Sebelum harapan terpenuhi, musibah mulai datang ....
Suatu
hari suamiku pulang lebih awal karena merasa nggak enak badan, seperti
masuk angin. Aku menyuruhnya segera istirahat, tidur dan memberi obat
penghilang sakit. Malamnya tubuh panas menggigil. Keesokannya aku bawa
ke dokter dan dikatakan hanya demam biasa sehingga hanya diberi obat
penurun panas. Tapi malamnya tubuh tetap panas, menggigil dan mengigau.
Dia menolak untuk dibawa ke RS bilangnya demam biasa.
Hari
ke-4 kondisinya parah dan pingsan, dari hidung keluar darah. Di RS
Hasil periksa darah, trombosit tinggal 26.000 normalnya diatas 150.000.
Suamiku kena demam berdarah, Dokter menyalahkan kenapa tak segera dibawa
ke RS lebih awal, karena serangan terberatnya di hari 5. Kalau kondisi
tidak kuat, amat berbahaya.
Hari ke 5
makin parah, napasnya berat, trombositnya tidak naik. Malam itu
setengah mengigau, dia memanggilku, aku genggam tangannya, aku dekati
telingaku ke mulutnya, aku dengar dia coba ucapkan sesuatu. Air matanya
meleleh. Dia ucapkan "Maafkan aku" Aku tenangkan dia, kalau tidak ada
yang perlu dimaafkan. Aku ikhlas mendampinginya. Setelah mendengar
kata_kataku dia tenang, dengan 1 tarikan napas dia ucapkan "La ilaaha
illa llaah" lalu meninggal dalam pelukanku.
Aku
ingat ucapannya, jika Allah izinkan, dia ingin meninggal di pelukanku.
Aku memarahi dia, jangan bilang seperti itu. Tapi dia serius, kalau dia
tak sanggup kalau aku meninggalkannya. Ternyata Allah kabulkan. Orang
yang aku jadikan sandaran hidup telah pergi. Tidak terkira sedih hatiku.
Andai tidak ingat anakku, aku ingin menyusul Mas Fariz.
Mas
Fariz jujur dan baik, seluruh rekan kerjanya dan big boss hadir
melayat. Kantor memberi santunan 4x gaji, ditambah uang duka. Aku
ditawari kerja di perusahaan tersebut. Tapi aku rasa setengah nyawaku
hilang. Selama 3 bulan berduka, aku tidak sanggup melakukan apapun.
Sementara
aku di rumah mertua agar Faisal ada yang mengasuh. Rumah dan motor
dijual, karena tidak sanggup kubayangkan kenangan Mas Fariz. Hampir
setengah tahun di rumah mertua, aku putuskan kembali ke kota asalku.
Sebenarnya ibu mertua amat baik dan penyayang. Tapi aku tahu diri tidak
mungkin bergantung ke siapapun. Aku harus mandiri demi anakku
satu-satunya.
Di kota asalku aku
mengontrak rumah dan membuka toko kecil. Mungkin karena masih berduka
dan terbayang suami hingga kurang mikirkan usahaakhirnya bangkrut. Uang
habis untuk membayar tagihan suplier.
Aku
sebenarnya tidak pernah putus asa apapun aku jalani asal halal. Pernah
jadi pelayan restoran beberapa bulan dan berhenti karena anakku tak ada
yang menjaga. Akhirnya aku kehabisan uang tak sanggup bayar kontrakan.
Dengan koper isi pakaian dan menggendong anakku berjalan tanpa tujuan.
Aku bingung akan kemana. Pernah terlintas di benakku untuk kembali ke
keluargaku. Tapi dengan kondisi ini mereka pasti merasa menang, tertawa
terbahak dan mengejekku seumur hidupku bahwa aku gagal memilih jalan
hidup.
Dibawah Naungan Islam
Ditengah
perasaan putus asa, kuteringat masjid tempat aku pertama kali
mengucapkan kalimat syahadat. Masjid itu bukan Masjid Raya di kota kami,
tapi masjid tua bersejarah, maka banyak jemaah berziarah. Aku berpikir,
dulu aku memulainya dari masjid itu, sehingga kalaupun jalan hidupku
berakhir aku ingin di masjid itu pula. Aku datangi masjid tersebut Dan
aku shalat mohon petunjuk. Anakku kelelahan tertidur di sampingku.
Aku
tidak punya uang untuk membeli makanan dan hanya bisa menangis. Rupanya
tangisku didengar seorang bapak dan beliaulah imam masjid tersebut dan
dia pula yang dulu membimbing aku membaca syahadat. Aku tidak lupa
dengan wajahnya tetapi dia pasti tidak ingat, karena wajahku tidak
sesegar dulu lagi. Sewaktu aku perkenalkan diriku dan aku katakan bahwa
aku dulu mualaf yang beliau bimbing, dia langsung ingat tapi juga kaget
dengan kondisiku seperti ini.
Akhirnya
aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku merasa tidak ada lagi
orang di dunia ini yang aku jadikan sandaran hidupku.
Setelah
mendengar kisahku dia menyuruhku jangan pergi - tetap tinggal di
masjid. Beliau menyuruh seorang jemaah membelikan makanan untuk aku dan
anakku. Sebentar kemudian dia meninggalkan aku sambil berpesan akan
segera kembali (rupanya dia mencari tempat untuk aku tinggali). Tidak
lama beliau kembali. Sambil tersenyum dia katakan, mulai malam ini aku
memperoleh tempat tinggal. Aku diajak ke belakang masjid disitu ada
bangunan tambahan terdiri beberapa ruangan. Biasa dipakai untuk gudang
peralatan masjid, seperti tikar, kursi dan lainnya. Salah satu ruang
tampak sudah kosong. Dia menunjuk bahwa itulah rumahku. Aku boleh
menempati selama mungkin aku mau.
Ruang
sebelahnya ditempati Pak Tua penjaga masjid, sehingga aku ada yang
menemani. Ruangan itu berukuran kurang lebih 2x2m. Pak Imam masjid
menambahkan, aku diberi honor sekedarnya jika mau membantu membersihkan
masjid, sehingga cukup untuk makan. Beliau tambahkan kalau aku bisa
datang ke rumahnya sekedar membantu istrinya memasak. Rumah beliau hanya
beberapa ratus meter dari masjid.
Alhamdulillah,
aku amat bersyukur ternyata Allah mendengar doaku. Aku ingat, bahwa
Allah tidak akan menguji hambanya melebihi beban yang sanggup dia pikul.
Aku bersyukur memperoleh tempat berteduh, walau hanya kamar kecil (jauh
lebih kecil dibanding kamar mandi saat di rumah orangtuaku). Ada lagi
yang membuatku tenang yaitu aku tinggal dekat rumah Allah, setiap merasa
sedih, aku tinggal masuk masjid mengadukan langsung pada Allah. Karena
tinggal dekat masjid otomatis shalatku tidak pernah terlewatkan
sekalipun.
Alhamdulillah, hidupku
sedikit demi sedikit mulai tenang. Aku sering membantu istri Pak Imam
memasak di rumahnya. Imbalannya beliau selalu membekali makanan untuk
aku bawa pulang. Sehingga aku tidak perlu risau memikirkan makanan
harian. Kalau Pak Imam sekeluarga ada keperluan keluar kota, akulah yang
dititipi menjaga rumahnya dan bisa tinggal di rumahnya. Sebenarnya
mereka menawarkanku tinggal bersama mereka. Tapi aku tahu diri tidak mau
terus menerus merepotkan orang lain.
Pekerjaanku
setiap hari membersihkan halaman masjid, membersihkan kaca jendela,
Sedangkan Pak Tua mengepel lantai masjid. Tiap minggu aku mendapatkan
honor sekedarnya dari hasil kotak amal, tapi kadang aku tidak
mendapatkan sepeserpun, karena kadang sudah habis untuk keperluan
masjid, tapi aku lakukan itu dengan senang hati dan ikhlas. Sementara
ini aku benar-benar ingin mengabdi pada Masjid ini - sebagai tanda
terimakasih. Aku tidak mau bersusah-payah mencari pekerjaan. Aku percaya
kelak masjid ini akan memberi jalan memperoleh pekerjaan.
Kadang
pada malam hari aku duduk di teras masjid, mengobrol dengan Pak Tua.
Dia bercerita, anak-anaknya ada di kampong, tapi dia tak mau
merepotkannya. Selama masih kuat, dia tak mau merepotkan orang lain.
Lalu saat giliran aku bercerita, kadang aku bingung harus cerita
apa...???
Apa aku ceritakan kalau
dulu aku pernah naik kapal pesiar keliling EROPA, tidur di hotel mewah
di LAS VEGAS atau saat kuliah punya apartment mewah di Australia …Ahh!
Pasti dia tertawa menganggap aku berkhayal. Jangankan tidur di hotel,
uang yang aku punya tidak lebih dari Rp 20.000,-
Dulu
tiap minggu aku bisa beli peralatan makeup, eye-shadow, lipstick jutaan
rupiah. Kini makeup aku air wudhu sebelum shalat. Tapi justru banyak
yang mengatakan wajahku tetap bersih, cantik alami. Kadang orang
berpikir aku masih memakai makeup. Yah…! mungkin Allah yang
memakaikannya. Kecantikan dari dalam “Inner Beauty” Banyak yang bilang
dengan mata sipit dibalik kerudung, aku terlihat cantik.
Tanpa
terasa hampir 2 tahun aku menetap disini, anakku sudah sekolah SD dekat
masjid milik yayasan dan tanpa membayar sepeserpun. Aku hanya membeli
seragam dan alat sekolah. Bahagianya hati melihat anak aku masuk
sekolah…ohh! seandainya mas Fariz masih ada dan melihat anak kita di
hari pertama sekolah.
Anakku rupanya
tumbuh besar dalam keprihatinan sehingga sangat tahu diri. Tak pernah
sekalipun merengek minta dibelikan ini itu seperti layaknya anak lain.
Pernah hatiku amat pilu. Ketika dia pulang sekolah dengan kaki telanjang
sambil menenteng sepatunya. Sambil tertawa, tanpa mengeluh, dia justru
menunjukkan sepatunya.
"Ma, sepatu
Faisal sudah minta makan" Sepatunya robek depannya, seperti mulut minta
makan. Melihat dia tertawa, aku ikutan tertawa, walau hati ingin
menangis. Andai dia tahu dulu mama selalu memakai sepatu harga jutaan.
kini, membelikan sepatu anakku yang murah aku belum sanggup. Alhasil
selama 2 hari anakku ke sekolah memakai sepatu robek, hingga aku belikan
sepatu bekas layak pakai.
Aku
bersyukur punya anak amat tahu diri. Tidak mau membebani ibunya. Anak
saleh akan menjadi bekal amat bernilai buat orangtua. Pak Imam masjid
kadang menengok dan menanyakan keadaan kami. Dia sering cerita,
bagaimana istri Muhammad SAW hidup jauh lebih menderita, tapi tetap
tabah. Beliau bilang, aku pasti akan menjadi ahli surga. Berulangkali
dia katakan, orang lain tidak akan sanggup menghadapi cobaan ini, tapi
aku tetap bertahan memegang keyakinan, meninggalkan kenikmatan dunia
yang justru pernah kuperoleh.
Suatu
siang, aku melihat mobil datang ke halaman masjid. Dari dalam mobil
keluar 2 orang yang aku kenal. Yang satu Tante Grace, satunya Oom
Albert. Mereka lawyer perusahaan dan keluarga kami. Entah bagaimana
mereka bisa mengetahui aku ada disini. Mereka membawa sebundel amplop,
mengajak aku berbicara. Aku lihat mata Tante Grace memerah menahan
airmata saat melihat tempat aku tinggal. Bahkan Oom Albert suara
bergetar, lehernya tersekat menahan sedih. Mereka diutus orangtua aku.
Karena orangtuaku sudah tahu bagaimana keadaan aku sekarang. Mereka
katakan dalam amplop isinya surat bank, ATM, Ijasahku yang bisa aku
miliki lagi. Bahkan aku dijemput pulang ke rumah mama-papaku.
Sejenak
aku bahagia, kupikir orangtuaku terbuka hatinya, aku bisa pakai uang
yang banyak untuk hidup lebih baik. Tapi dengan terpatah-patah Oom
Albert melanjutkan, mama-papa memberi syarat. Saat kutanyakan
syaratnya. Keduanya nyaris tidak sanggup melanjutkan.
Tante
Grace makin menunduk menahan tangis. Akhirnya oom Albert mengatakan
syaratnya aku dan anakku harus kembali ke keyakinan lama. Saat itu juga
aku langsung menjawab, kalau aku tidak mau menerima amplop itu dan aku
katakan agar dikembalikan ke papa. Keduanya amat sangat minta maaf
padaku, karena mereka tahu aku tersinggung. Tapi aku juga sadar keduanya
hanya menjalankan tugas. Bahkan Tante Grace katakan, andai mengikuti
nurani pasti mereka serahkan itu amplop padaku tanpa syarat apapun, tapi
mereka terikat profesi.
Keduanya
pamit. Tapi tidak lama kemudian kembali lagi, aku pikir ingin membujuk.
Rupanya mereka berinisiatif fotocopi ijasah dan menyerahkan copy-nya
padaku. Mereka inisiatif sendiri resikonya kehilangan pekerjaan. Mereka
bilang hanya itu yang bisa mereka lakukan untukku.
Alhamdulillah.
Sedikit demi sedikit Allah memberi jalan untukku. Akhirnya aku punya
bukti kalau aku pernah sekolah tinggi meraih Master bidang keuangan
(finance) di luar negeri.
True Happiness
Rupanya Allah cukup menguji dan memberi rewards atas ketabahanku.
Suatu
pagi 2 orang mengamati bangunan masjid, wanita kulit putih dan lokal.
Pak Tua ada di halaman Masjid, maka mereka menghampiri. Masjid kami
memang unik, bangunan tua dengan arsitektur Melayu Kuno dan sering
dikunjungi. Biasanya Pak Tua menjadi juru-bicara karena dia paling tahu
sejarah masjid. Aku banyak mendapat cerita dari Pak Tua sehingga aku
tahu sejarah masjid kami.
Dari jauh
tampak keduanya mengobrol dengan Pak tua, sampai akhirnya kulihat si
Kulit Putih kebingungan. Akupun menghampiri dan dengan sopan
memperkenalkan diri serta menawarkan bantuan.
Ternyata
dia mahasiswi Arsitektur dari Australia dan ditemani mahasiswi
Arsitektur universitas T di kotaku sebagai penterjemah (panggil saja
Retno). Rupanya bahasa Inggris Retno kurang lancar hingga si Bule
kebingungan mendengar terjemahan cerita Pak Tua. Dengan sopan aku
mengajukan diri membantu si Bule.
Dengan
bahasa inggris sangat lancar, aku ceritakan semua hal tentang masjid.
Aku ajak berkeliling ke tiap sudutnya. Si Bule bertambah takjub saat
kukatakan pernah study di negerinya. Retno terus memandangiku setengah
tak percaya. Setelah puas mendapat informasi, sebelum pulang Retno
berjanji menemuiku segera, ingin menanyakan banyak hal tentang diriku.
Dengan senang-hati akan kuterima kedatangannya kapan saja.
Beberapa
hari kemudian Retno menemuiku. Dia amat ingin tahu siapa diriku. Aku
ceritakan semua perjalanan hidupku sampai saat ini. Dia amat bersimpati
dan ingin menolong. Walau tak mengharap pertolongan orang lain, tapi
kuhargai niatnya. Dia bilang dengan pendidikan dan kemahiran bahasa
asing akan mudah mendapat pekerjaan, apalagi ada copy ijasah. Seminggu
kemudian dia datang membawa kertas dan amplop, menyuruh membuat surat
lamaran.
Informasinya Rektorat
memerlukan tenaga honorer. Aku terharu ada orang peduli mau membantu
tanpa pamrih, aku ucapkan banyak terimakasih padanya. Bagiku dia seperti
diutus Allah untuk menolongku. Tidak lama kemudian aku mendapat kabar
gembira, aku dipanggil ke Rektorat untuk test dan wawancara. Sebelum
berangkat aku shalat memohon kepada Allah agar diberi kelancaran. Anakku
aku titipkan pada Pak Tua yang kuanggap sebagai orangtua sendiri.
Alhamdulillah,
test berjalan lancar. Saat wawancara justru Bahasa Inggris lebih aku
kuasai dibanding pewawancara. Dia bilang English-ku perfect.
Beberapa
hari kemudian dia datang dan tampak gembira sekali, katanya dalam
beberapa hari aku akan mendapat surat dari Rektorat yang isinya
diterimanya aku sebagai honorer. Dia tahu informasi karena temannya
bekerja disana. Aku segera menuju masjid dan bersujud syukur lama
sekali. Kurasa aku lulus semua test yang diujikan Allah. Sering aku
bertanya pada Allah, apakah karena aku mualaf sehingga Allah kurang
percaya pada keimananku hingga perlu diuji dengan ujian amat berat.
Walau
hanya honorer aku sangat bersyukur, yang penting aku memperoleh
penghasilan layak. Pekerjaan membantu Bagian Keuangan di Rektorat,
memang sesuai dengan ilmuku. Mulai banyak yang tahu kalau aku lulusan
luar negeri. Setiap seminar yang memerlukan makalah bahasa Inggris pasti
aku yang diberi tugas penyusun makalah.
Aku
banyak membantu penterjemahan litelatur asing untuk mahasiswa. Nyaris 3
tahun terakhir, aku tidak pernah membeli baju baru. Dengan gaji
sekarang aku bisa membelinya. Aku amat sangat senang bukan main, bisa
membelikan pakaian anak. Bahagia melihat anak berpakaian layak. Pakaian
sekolahnya sudah menguning, kini aku beli yang baru, putih bersih dan
sepatu baru. Sepatu lamanya robek dan kusimpan sebagai kenangan.
Tak
lama kemudian aku mengontrak rumah. Sebelum aku meninggalkan Masjid
tak lupa pamitan ke rumah Pak Imam mengucapkan terimakasih atas
pertolongannya, beliau katakan yang menolong bukan dia tapi Allah yang
menolongku. Aku memeluk dia lama sekali. Aku katakan dahulu aku ucapkan
syahadat di depannya dan aku tak akan pernah mengingkarinya seumur
hidupku, apapun yang terjadi.
Sebelum
pergi kupandangi kamarku untuk terakhir kali, sempat beberapa menit
tertegun, membayangkan, mungkin kelak ruangan ini dipakai oleh orang
yang senasib seperti aku.....
Aku harap Semoga Allah memberinya kekuatan....
Setelah
melewati segala cobaan, Allah terus-menerus memberi semacam rewards,
belum setahun bekerja, Rektorat memberi kabar statusku menjadi karyawan
tetap. Beberapa dosen senior menawari posisi asisten dosen. Rekan kerja
mengatakan karirku amat bagus. Orang berkualifikasi sepertiku amat
dibutuhkan. Mereka bilang kesuksesan hanya menunggu waktu.
Aku
hanya mengucap Alhamdulillah. Dahulu aku sering berdoa dengan linangan
airmata kesedihan, sekarang sering menangis saat berdoa, tapi kali ini
aku menangis bahagia. Sampai saat ini aku sendirian, aku bertekad
membesarkan anak sebaik-baiknya. Aku masih merasa istrinya mas Fariz.
Seperti yang aku pernah katakan, dia bukan hanya suami, tapi soulmate
dan tidak tergantikan. Tetapi entah kalau Allah mempunyai rencana lain.
Tiap memandang anakku, aku seperti melihat mas Fariz. Seolah dia masih
mendampingiku.
Alhamdulillah! kini
aku mampu membeli motor. Di akhir pekan aku sering berboncengan dengan
anakku jalan-jalan atau sengaja lewat di depan rumah orangtuaku, sambil
aku katakan bahwa itu rumah opa-oma. Sering anakku bertanya, "Ma kapan
kita pergi ke rumah oma-opa? " Aku tersekat tak bisa menjawab sebab
menahan airmata. Aku terus berdoa, semoga suatu saat kelak orangtuaku
dibukakan hatinya, jika tak mau menerimaku lagi, mohon diterima anakku –
cucu mereka.
Wassalam,
TitikHITAM
Maaf
untuk cerita kisah diatas sengaja tidak saya cantumkan sumbernya
soalnya tidak jelas sumber aslinya dan kisah ini mudah di temukan di
berbagai blog gratisan. Bila ingin komplen silahkan. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar